Friday, February 28, 2014

Terlalu Cepat Menilai

Copas dari Tere Liye. Semoga memberi manfaat..

Teman saya, kita sebut saja namanya adalah Bambang, sebenarnya baik. Hanya satu masalahnya, terlalu mudah menilai orang lain, nge-judge, tanpa dipikirkan dua kali, apakah dia memang pantas melakukannya, apakah itu sopan atau tidak. Apakah dia layak atau tidak melakukannya. Bambang tidak peduli, namanya juga hobi dia.

Nah, pada suatu hari si Bambang yang adalah pegawai di salah-satu perusahaan swasta itu mengunjungi salah seorang seniornya di kantor, tidak terlalu dekat memang, tapi karena si senior ini termasuk atasan penting, juga dikenal baik, maka berangkatlah si Bambang bersama teman2 sekantornya untuk ikut berbelasungkawa. Si senior ini lagi kena kemalangan, rumahnya dirampok orang, istri dan anak2nya yang diikat semalam trauma. Harta benda hilang, mobil dibawa pergi. Ada banyak orang yg berkunjung, bilang simpati, termasuk petugas yang sibuk bekerja. Saat giliran teman2 kantor bertemu, bilang ikut sedih atas kejadian tersebut, maka si Bambang seperti biasa, cepat sekali menilai orang lain, dia menjabat tangan seniornya, kemudian berkata mantap, "Semoga ada hikmahnya ya, Mas. Mungkin ini agar Mas lain kali lebih banyak sedekah, berinfaq. Tidak kikir dengan orang2 yang membutuhkan." Santai sekali si Bambang ini berkata, saking santainya, dia tidak tahu kalau teman2 lain yang tahu persis justeru menahan nafas. Syukurlah seniornya hanya mengangguk, tersenyum tipis. Tidak tersinggung.

Sepulang dari rumah si senior, dalam perjalanan kembali ke kantor, salah-satu teman kerja Bambang berkata pelan, "Eh, Mbang, bulan lalu pas anak ente masuk rumah sakit kan biayanya melebihi tanggungan perusahaan kan ya?" Bambang nyengir, ngangguk, "Iya tuh. Gue harus bayar hampir xx juta, ngabisin tabungan. Gue udah pusing sekali, cari duitnya, syukur ada orang yang mau bantu." Teman kerjanya kemudian menatap Bambang lamat2, "Lu tahu nggak siapa yang bantu?" Bambang menggeleng--karena dia memang tidak tahu, tiba2 tagihan rumah sakit sudah lunas. Dan teman si Bambang berkata prihatin, "Yang bantu lu itu senior kita tadi. Yang lu bilang agar lebih banyak sedekah, berinfaq. Tidak kikir. Dialah yang ngelunasin tagihan rumah sakit anak lu."

Di dunia ini, adalah tabiat kita mudah sekali menilai, nge-judge orang lain. Dan sayangnya, kita bahkan langsung dengan telak menuduh orang lain persis di hadapan banyak orang. Si Bambang ringan tangan sekali nge-judge orang lain jangan kikir. Atau dalam kasus lain, orang2 ringan sekali bilang "Makanya dong jadi orang yang sabar, coba tiru Rasul Allah, sabar banget, kan.", tega sekali membawa2 pembanding yang tidak ada bandingannya, padahal kita sama sekali tidak tahu seberapa besar dia sudah mencoba bersabar. Atau "Anda ini sepertinya memang tidak mau mendengarkan orang lain, ya. Tidak demokratis." Padahal kita tidak tahu sama sekali orang yang kita nilai tersebut bahkan bisa masuk dalam daftar 1.000 orang paling mendengarkan yang pernah ada.

Nge-judge sana, nge-judge sini. Bahkan saat kita tidak kenal dengannya, baru pertama kali berinteraksi, tumpah ruah kalimat2 menilai orang lain. Lupa kalau orang yang kita ajak bicara lebih tua, lebih banyak makan asam garam kehidupan. Lupa kalau orang yang kita judge lebih tahu. Pun termasuk di dunia maya ini, berserakan kebiasaan buruk tersebut.

Maka, my dear anggota page, jangan jadi si Bambang. Saya ingat sekali nasehat orang tua, sbb: Bahwa orang2 yang sibuk menilai orang lain, maka dia akan lupa untuk mulai bersegera menilai diri sendiri. Orang2 yang sibuk nge-judge orang lain, maka dia akan lupa, kelak pada hari penghabisan, dirinyalah yang akan di-judge setiap jengkalnya.

Mungkin baik sekali direfleksikan, dipikirkan.

sumber: https://www.facebook.com/darwistereliye/posts/690911447626093