Tuesday, April 12, 2011

Seorang Ayah, Anak dan Keledai

Pagi-pagi tadi saya teringat dengan kisah seorang ayah, anak dan keledainya.  Sayang dari tadi pagi saya nggak sempat online buat posting kisah itu.  Jadinya baru sempat sekarang deh. :(

Okelah, whatever.  Saya mulai aja ya... ^_^


Dahulu kala, ada seorang ayah yang melakukan perjalanan jauh bersama anaknya menggunakan keledai.  Sayangnya, keledai yang dimiliki keluarga ini hanya seekor.

Sang ayah merasa kasihan dengan anaknya yang harus berjalan kaki.  Maka ia pun menyuruh anaknya menaiki keledai tersebut, sedang ia sendiri berjalan kaki.  Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan serombongan orang. 
Salah seorang di antara rombongan itu berkomentar, “Dasar anak durhaka tidak tahu diri, masak membiarkan bapaknya yang tua berjalan kaki.”
Mendengar perkataan pedas seperti itu, si anak pun akhirnya turun dari keledai, dan kemudian meminta ayahnya menggantikannya menaiki keledai tersebut.

Perjalanan pun dilanjutkan kembali.  Kali ini, sang ayah yang naik keledai sedangkan anaknya mengiringi.  Tak lama berselang, mereka bertemu lagi dengan serombongan orang dari kelompok yang lain.
Salah seorang di antara rombongan itu berkomentar, “Dasar bapak tidak punya belas kasih.  Tega sekali dia, enak-enakan naik keledai padahal anaknya lelah berjalan kaki di cuaca yang terik ini.”
Mendengar komentar itu, sang ayah kemudian mengajak si anak melanjutkan perjalanan dengan menaiki keledai bersama-sama.

Di tengah perjalanan, bertemulah mereka dengan rombongan yang lain lagi.
“Dasar manusia kejam, tak punya rasa kasihan dengan binatang.  Keledai yang sudah kehabisan tenaga seperti itu malah dinaiki dua orang,” komentar salah satu anggota rombongan.
Mendengar hal itu, sang ayah dan si anak pun turun dari tunggangan keledainya.  Keduanya kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja, sambil menggiring keledai di samping mereka.
Sang Ayah berkata kepada anaknya, "Dengan begini, tidak akan ada seorangpun yang mengomentari kita."

Akhirnya sampailah mereka di tempat tujuan.  Kerabat mereka pun menyambut kedatangan mereka.  Salah satu di antara kerabat tersebut berseloroh, "Bodoh sekali kalian, membawa keledai tapi malah berjalan kaki sampai ke sini."


~~~
Hi hi hi... gimana? miris kan ceritanya? XD

Sadar ataupun tidak, kita sering sekali berada dalam situasi seperti cerita tersebut.  Entah itu berperan seperti ayah dan anak yang serba salah, ataupun sebagai anggota rombongan / kerabat yang jago berkomentar miring. 
Ngerasa nggak?? saya ngerasa soalnya... :p

Ada dua hikmah penting di balik cerita lucu sekaligus miris ini... ^^
Pertama, jika kita memang memiliki alasan kuat untuk melakukan sesuatu, maka lakukan itu dengan sepenuh hati.  Kadang kala perkataan orang lain memang perlu didengarkan sebagai bahan pertimbangan, tapi tidak semuanya.  Kita yang menjalani, maka kitalah yang paling mengetahui apa yang kita perlukan dan apa yang tidak kita perlukan.  ANJING MENGGONGGONG, KAFILAH BERLALU-lah, istilahnya...
Saya pribadi masih ngerasa berat sih buat nerapin istilah itu.  Tapi kayaknya harus sering-sering diterapkan deh, biar tekad jadi keras.  Tidak lembek seperti saya yang sekarang ini.  :p
Chayo! :D

Kedua, sebelum berkomentar atau ikut campur masalah orang lain, cari dulu informasi yang lengkap mengenai latar belakang dan permasalahannya.  Jadi nggak asal nyolot.  Kalaupun kita mau-tidak-mau diharuskan berkomentar, kita tidak hanya memberikan komentar, tapi juga bisa memberikan solusi. 
Idealnya, jika tidak diminta, jangan lancang untuk mengurusi urusan orang lain, kecuali kalau urusan itu mulai menuju ke arah negatif dan keburukan.  Sebagai saudara sesama manusia, saling mengingatkan justru wajib hukumnya (tidak sekedar memaklumi).   Hal lain yang perlu dibiasakan adalah membicarakan masalah itu langsung dengan orang yang bermasalah, nggak perlulah pakai sindir-sindiran di depan manusia ramai, apalagi menjelek-jelekkan orang tersebut di belakang.  Nggak berfaedah! he he..  Betul nggak?
Hmm... Saya pikir-pikir, saya pribadi juga masih suka berkomentar pedas, tapi seringnya sih kalau nggak diminta, nggak berani.  Soalnya saya sendiri nggak suka digituin.  Tapi nggak menutup kemungkinan juga kadang-kadang keceplosan ngomentarin orang sembarangan kalau lagi error.. :p he he
Haduh, kayaknya saya harus mulai lebih giat belajar supaya lebih bisa dewasa dalam berkomentar nih...  Diam pada saat yang tepat dan berkomentar pada saat yang tepat.  Woow...  x_x  >>> susah.

Tolong, saling ingatkan ya teman-teman! *0*

1 comment:

  1. oh iya, saya baru ngecek, kisah ini ternyata punya banyak versi (dengan urutan berbeda), tapi intinya sih sama. Ada yang bilang ini kisahnya Nasrudin Hoya, ada yang bilang ini kisahnya Lukmanul Hakim, ada juga yang bilang ini kisah dari negeri China. Nggak jelas. hee...

    Yang saya re-write di blog saya ini adalah berdasarkan versi yang saya dengar.. males mau ngeditnya lagi. ha hah.. :D

    I hope you enjoy it! :)

    ReplyDelete